Rabu, 27 November 2024
sebelum terbang ke Canada, kita berinisiatif membuat acara makan malam bersama
sambil membincangkan rencana besok drive 2,5 jam ke airport. Kita mengatur
strategi karena Gene Peterson akan terbang ke Miami bersama pacarnya untuk
merayakan thanks giving bersama keluarga pacarnya, sedangkan kita bersama rekan
lain harus langsung menuju Canada pada hari Kamis. Setelah makan malam, seperti
biasa, saya harus packing semua barang tour, seperti sepeda dan pakaian. Sambil
menelepon istri di Perth Australia, malam ini berbeda istri yang cantik manja,
sedikit kode-kode untuk meminta uang tambahan agar bisa berbelanja di momen "Black
Friday" di Australia yang memang akan ada diskon gila-gilaan Jumat besok.
Istilah "Black
Friday" sudah saya dengar sejak lima tahun lalu di Australia. Perang
diskon dari berbagai brand menjelang akhir tahun bermunculan dari product
fashion sampai elektronik. Hari besar ini ditunggu-tunggu banyak orang, bahkan
hampir di seluruh dunia. Bagaimana tidak, brand bisa memberikan potongan harga
hingga 70%.
Teringat momen sebelum
Covid-19 saat perayaan "Black Friday 2019", saya bersama istri ikut
memburu produk-produk branded. Sebenarnya saya dan istri terhasut oleh cerita
teman-teman yang lebih dahulu tinggal di Melbourne. Mereka ceritakan jika
tanggal itu tiba akan ada banyak orang yang sengaja datang lebih awal ke store
yang mereka tuju, bahkan sudah duduk di pelataran store sejak jam 5 pagi, hanya
untuk memastikan mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Pusat perbelanjaan di CBD
Melbourne (Central Business Distric/Kawasan Bisnis Pusat) sangat dibanjiri para
pengunjung yang bukan hanya datang dari Melbourne saja, melainkan mereka yang
datang dari kota lain di Australia. Semua tumpah ke jalanan CBD Melbourne. Di
sana kita bisa temukan brand-brand besar hingga luxury brand, seperti Dior,
Burberry, Giorgio Armani, Versace, Louis Vuitton, Hermes, Fendi and Bvlgari.
Department store seperti DFO (Direct Factory Outlet), H&M, Zara, Uniqlo,
dan sebagainya. Jujur pada saat itu saya bersama istri hanya ingin menyaksikan
atsmosfer berbelanja di sana karena cerita-cerita yang menghebohkan, yang
katanya bisa berebut karena harga sangat murah, bahkan harus antre berjam-jam
untuk hanya bisa masuk ke satu store saja.
Memang pada kenyataannya
beberapa store harus mengantre. Barisan para pembeli panjang mencapai 100 m.
Itu hanya untuk masuk ke satu brand store. Beberapa pusat perbelanjaan besar
(department store), juga harus antre seperti seakan-akan untuk masuk ke konser
musik Rhoma Irama. Itu semua agar berjalan kondusif. Pengalaman ini baru saya
rasakan saat saya tinggal Melbourne. Orang-orang seperti kehausan dan kelaparan
terhadap produk-produk yang mereka inginkan.
Ada beberapa memang
istilah atau hari besar obral diskon yang biasa kita dengar, seperti
"Black Friday", "Boxing Day", "New Year Sale".
Namun, yang biasa ditunggu-tunggu adalah "Black Friday" dan
"Boxing Day" yang datang menjelang tahun baru dan natal.
Sebenarnya gelombang
belanja seperti itu bisa kita saksikan seperti di Indonesia saat datangnya
bulan Ramadan menjelang Lebaran. Di negara kita seakan-akan semua orang wajib
membeli pakaian baru, jika tidak membeli satu helai pakaian saja, sepertinya
tidak sah atau belum sah mengikuti perayaan Lebaran Idulfitri. Begitu juga bagi
umat Kristen di Manado. Saat 2018 saya pergi ke Manado, di sana pesta belanja
ada di akhir Desember saat perayaan Natal dan Tahun Baru.
Istilah "Black
Friday” berasal dari Philadelphia USA pada tahun 1950-an saat petugas polisi
setempat menciptakan frasa tersebut untuk menggambarkan turis yang gaduh dan
kekacauan yang terjadi sehari setelah thanks giving.
Saya teringat juga di
mana pada saat masih 100% fokus dalam bisnis di industri clothing, sekitar
tahun 2015 momentum Lebaran, saya bersama tim membuat program “Crazy Sale” di
toko Distro Cijawa Kota Serang. Potongan harga diskon sampai 80%. Bagaimana
tidak crazy/gila, harga baju yang dibandrol 150 rb, bisa dijual hanya dengan 50
rb.
Konsep penjualan seperti
itu dirancang bukan bertujuan untuk menjual produk saja, melainkan membuat
gebrakan di kota kecil dengan membuat antrean panjang yang masif dan
terstruktur. Iklan sudah digembor-gemborkan satu minggu sebelum tanggal program
pelaksanaan "Crazy Sale". Iklan di media sosial, iklan printing yang
disebarkan melalui selembaran kertas HVS yang difotokopi, sampai selembaran
kertas kecil berukuran A4 dibagi dua, dengan detail harga produk di dalamnnya.
Kita menggelar program "Crazy Sale" hanya beberapa jam saja, mulai
pukul 8 sampai dengan 10 malam, hanya dua jam. Konsep ini sudah saya lalui,
jauh sebelum menyaksikan "Black Friday" di Australia atau Amerika.
Sekitar pukul 7 malam sudah berderet anak-anak muda memarkir motornya di
trotoar Jalanan Fatah Hasan Cijawa Serang. Entah mereka datang dari mana.
Mereka mengantre untuk berebut mendapatkan produk yang sudah kita sediakan di
toko.
Dalam beberapa jam, kita
berhasil menjual lebih dari 2.000 pcs produk, rata-rata mereka membeli 2-4
potong produk karena harganya yang tidak wajar. Antrean berdesakan sampai harus
menutup rolling toko untuk memaksimalkan penjualan di dalam toko karena desakan
pembeli dan pelayanan kasir yang harus cepat efektif, belum lagi display ulang
dan pencarian stok barang. Semua membutuhkan effort luar biasa. Memang, jika
mengingat masa-masa itu sepertinya mudah sekali mendapatkan uang dalam hitungan
jam. Mengendalikan masa dan membuat orang terus membeli produk yang kita ciptakan
tanpa memikirkan apa dampak buruk bagi lingkungan dan ketidakseimbangan
ekosistem bisnis.
Sekitar tahun 2016, saya
pernah kena tegur oleh Gazan Azka Ghafara, owner Zanana Chips kripik pisang
cokelat asal Bandung. Ia berkata kepada saya, “Coba Mas Heru tonton film
dokumenter tentang textile dan cotton di India”. Tak lama usai kata-kata itu,
saya menyempatkan mencari dan menyaksikannya. Bagaimana dampak negatif yang
dihasilkan akibat fast fashion atau produk cepat jual. Dengan menekan upah
buruh dan tidak memikirkan dampak lingkungan atas pertanian cotton, juga limbah
pabrik.
Karena minim upah buruh,
ada buruh di Bangladesh yang harus terpisah dengan anaknya yang baru berusia
dua tahun. Ia harus menempuh jarak dua jam dan empat bulan sekali untuk pulang
menengok anaknya karena minim upah dan sulitnya libur kerja. Belum lagi
kontruksi bangunan yang tidak diperhatikan oleh manajer perusahaan tempat
konveksi karena alasan sedikit profit yang perusahaan dapatkan, sampai
berakibat runtuhnya bangunan dan mengakibatkan kematian dan luka-luka karyawan.
Kembali lagi karena alasan minim keuntungan, padahal kita bisa lihat, di sana
memproduksi brand-brand besar dunia dengan harga jual yang sangat tinggi.
Dampak lingkungan dan
pencemaran limbah olahan textile membuat bayi terlahir cacat dan berpenyakit
kanker. Pekerja industri tekstil sering terpapar bahan kimia berbahaya seperti
asbes, formaldehida, dan pewarna sintetis. Bahan-bahan ini dapat masuk ke dalam
tubuh melalui inhalasi atau kontak kulit dan akan berakibat pada penyakit
kanker. Hal tersebut yang membuat saya sedikit mempertimbangkan bisnis dalam
bidang textile.
Bisa kita saksikan
bersama, desawa ini hampir di semua marketplace dan media sosial masih
berperang harga jual. Siapa cepat dia dapat. Live 24 jam, menjual dengan harga
tidak masuk akal. Di platform market
place orange harga bakar uang (hanya 1.000-2.000 rupiah bisa mendapatkan
produk), mereka menjual demi target per hari bisa menjual beribu ribu produk.
Orderan di perbanyak diskon, dari berbagai sisi ditawarkan, mulai potongan
gratis ongkir, COD, dan sebagainya. pembeli dipaksa beli bukan karena kebutuhan
tapi dirayu keinginannya. Dipaksa untuk membeli dengan fasilitas yang mudah
sampai bayar nanti atau pay latter. Yang digoncang psikologisnya, seakan-akan
jika tidak membeli tidak ada waktu lagi atau bahkan akan ketinggalan zaman.
Konsep berjualan era
sekarang bukan hanya merusak lingkungan, melainkan juga pasar offline banyak
yang gulung tikar karena tidak adanya pembeli offline. Konsumen enggan datang
ke pasar dengan alasan di platform online banyak diskon menggiurkan. Bagaimana
tidak, pabrik atau home industry dewasa ini melakukan direct selling/penjualan
langsung ke konsumen tanpa melibatkan distributor. Itu yang membuat ekonomi di daerah
menurun, membuat mati pasar offline. Perputaran ekonomi secara digital berpusat
langsung ke perushaan-perusahaan raksasa.
Di Netflix, baru-baru ini
bisa kita saksikan film dokumenter “Buy Now” the shopping conspiracy,
menceritakan tentang bagaimana brand memanipulasi agar konsumen tetap membeli
dan menyia-nyiakan barang yang telah mereka gunakan. Mereka membuat kita terus
membeli produk/mengonsumsi, hingga membuang lebih banyak produk karena terkesan
ketinggalan zaman atau sudah tidak trend. Perusahaan-perusahaan besar banyak
berbohong dan memanipulasi program-program mereka yang seakan-akan menolong
lingkungan dan kemanusiaan. Namun, pada kenyataannya 180 derajat berbeda di
lapangan. Sampai kepada mereka banyak menyembunyikan dampak-dampak negatif terhadap
lingkungan dan ekosistem makhluk di bumi. Mereka mampu mengontrol dan
memengaruhi peradaban untuk terus mengonsumsi.
Di negara adidaya saja,
dewasa ini sudah banyak orang menyadari dan berubah dalam gaya berkehidupan.
Mereka sekarang mempelajari slow living, minimalisme. Mereka mulai sadar jika
kehidupannya dikendalikan oleh perusahaan bukan kebutuhan. Jika saya perhatikan
di tempat-tempat wisata, saya banyak menemukan orang dari berbagai belahan
dunia berpose dengan brand-brand mewah dan mereka menganggap dirinya mewah.
Sebenarnya yang mewah produknya atau dirinya? Mereka menganggap dengan memakai
produk tersebut, nilai diri mereka meningkat. Sama juga seperti seseorang
berpose di tempat iconic, katakan seperti menara Eiffel, atau di tengah
perkotaan Time Square, apakah menara dan kota tersebut yang hebat, atau orang
yang berpose yang hebat. Di tengah disrupsi media sekarang ini, benar-benar
semua sedang diterjang banjir kecemburuan sosial dan gengsi sosial.
Seattle, Jumat, 29 November 2024
___________
Heru Anwari, BMX
Freestyler Indonesia. Berkeliling ke berbagai negara bersama sepeda.
Instagram: @heruanwari