Malam itu saya bersama
tiga sahabat sedang berbincang melingkar dekat perapian di sudut rumah
penginapan, Road House Talkeetna Alaska. Tempat tinggal dengan bangunan kayu
yang lumayan old school terasa rumah tua. Bangunan ini sudah ada sejak tahun
1917 dan terkenal sebagai tempat favorit para turis, tempat persinggahan para
pendaki yang mendaki ke Gunung Denali Alaska.
Di luar rumah sedang
turun salju dengan suhu udara -5 celcius, membuat kita ingin menghangatkan
tubuh sambil juga menghangatkan persahabatan satu sama lain. Kita bertukar
pikiran dan cerita malam itu. Gabriel new artist crywheel (alat akrobatik), ia
berasal dari negara Doimic Republic yang
sudah tinggal di NYC (New York City) sejak usia 16 tahun. Ia sudah 18 tahun
menelan gemerlap kehidupan NYC di dunia entertainment sebagai show artist
seperti MC atau pun circus artist. Ia tak hanya mampu melakukan crywheel,
tetapi juga ahli breakdance, juga hal-hal street art. Ia tak hanya tahu, tapi
menyelam ke dalamnya, mengenai banyak circle. Begitulah gambaran kehidupan anak
street culture (budaya jalanan), dan pastinya banyak bekerja dengan berbagai
pihak di NYC.
Sambil mengangkat kedua
tangan, Gabriel mulai bercerita.
“Hey, guys listen! Saya
punya cerita menarik,” ujar Gabriel dengan aksen New York. Saya senang
mendengarnya.
Suatu hari ponsel Gabriel
berdering sekitar pukul tiga sore. Telepon dari orang yang tak dikenal, meminta
tiga dancer laki-laki untuk malam ini, pukul sembilan malam. Katanya ini urgen
dan penting. Kebiasaan di negara besar seperti USA/Australia setiap pertunjukan
biasanya tidak ada yang semendadak itu, biasanya di-booking, setidaknya satu
minggu sebelum hari pertunjukan.
“Oke, jika saya
mendapatkan tiga dancer, berapa kamu akan membayar?” Gabriel merespons dengan santai kepada
penelepon sore itu. Penelepon menantang dan berkata, “Silahkan ucapkan berapa
yang kamu mau?”
”Oh, my God!” ujar
Gabriel.
Ini menarik, Gabriel
meminta $1500 USD untuk dua jam pertunjukan. Tiga dancer dan deposit sore itu
juga.
”Saya hanya menantangnya
sebenarnya,” ujar Gabriel.
Ia tak tahu, orang ini
tiba-tiba saja menghubungi, tak ada hujan tak ada mendung. Telepon itu pun
diakhiri dengan persetujuan kedua belah pihak.
Tak sampai 30 menit,
bunyi notifikasi bank account di ponsel Gabriel, $1500 USD masuk ke rekening,
sekitar 24 juta rupiah. Ia pun kaget tak kira.
“It’s real,” ujar
Gabriel.
Sore itu pun Gabriel
bergegas menelepon teman-teman dance laki laki yang memiliki waktu luang. Ia
menelepon beberapa temannya dan menceritakan yang terjadi. Tak mudah
mendapatkan boy/dancer/breakdancer laki laki dengan waktu singkat. Setelah
didapatkan, ia pun memberikan lokasi pertunjukan malam itu di salah satu gedung
tengah Kota New York pukul sembilan malam.
Gabriel melanjutkan
ceritanya yang semakin menarik malam itu. Semua mata tertuju kepada Gabriel
dengan perawakan tinggi kekar dan gerakan-gerakan tangannya saat bercerita,
ditambah aksen New York, seperti menghipnotis kita semua malam itu.
“Do you know, what
happen? Kalian tahu apa yang terjadi? Saat kita sampai di sana, kita dibawa ke
ruangan dan di-briefing untuk melakukan tarian dance dua sesi, tiga puluh menit
dengan koreografi yang kita miliki. Namun, ada yang di luar nalar, kita diminta
menari hanya dengan menggunakan celana dalam saja. Celana dalam ketat berwarna
hitam seperti celana dalam Batman, haha,” Gabriel dan rekan-rekannya tertawa.
Gabriel memperlihatkan
foto di Google gambar celana dalam yang mengkilap ala-ala lelaki penghibur.
Suasana pecah karena hal tak terduga terjadi. Gabriel bukan penari striptis,
bisa-bisanya diminta menari ala ala striptis. Skenario ini tak dijelaskan saat
percakapan ditelepon sore itu, tapi sudah telanjur datang dan satu jam
penampilan $500, nilai yang fantastis. Jarang-jarang didapatkan oleh para
penari jalanan atau street performer karena memang Gabriel dan teman-temannya
bukan berada di lingkungan penari striptis. Memang, permintaan dance malam itu
bukan tarian strip, hanya koreografi dance, bisa namun kostumnya yang luar
biasa. Saya rasa sepertinya ada kejadian tak terduga, seperti cancel booking
pada grup sebelumnya yang membuat mencari penari pengganti, namun itu teknis.
Singkat cerita mereka
menyetujui job malam itu. Benar saja, mereka dance di depan kumpulan para
lelaki LGBT/gay, kumpulan lelaki dengan baju-baju mewah di ballroom mewah
seperti acara gala dinner. Bisa-bisanya mereka dibayar hanya untuk menghibur
laki-laki lain. Mungkin cerita ini banyak terjadi setiap malamnya. Namun
menariknya, saya mendapatkan cerita langsung bagaimana mencekamnya malam itu
dari salah satu penarinya langsung. Ia menceritakan ia seperti terjebak, namun
itulah gaya kehidupan di ibu kota gemerlap New York. Uang menjadi pilihan nomor
satu, menjadi satu satunya alasan untuk melakukan apa pun, karena tak ada
pilihan lain, tekanan gaya hidup dan kebutuhan juga yang memengaruhi.
Sebentar, masih ada
cerita menarik lainnya yang lebih membuat kita malam itu tertawa
terbahak-bahak. Sesudah Gabriel dan kawan kawan menari, tak lama ia menyaksikan
penampilan penghibur lain, “Kamu tahu kostum monyet dengan buntut di
belakangnya? Beberapa lelaki dandan seperti monyet dan memakai kostum monyet
plus dengan buntut di belakangnya di tambah meluncur dengan sepatu roda, haha,”
semua tertawa.
Gabriel mengatakan bahwa
mungkin para lelaki itu dibayar dengan budget yang sama untuk berpose dan
meluncur dengan sepatu roda di acara malam tersebut. Saya terbayang langsung
seperti di film-film, pria memakai kostum monyet dengan sepatu roda saling
berjalan mengelilingi hadirin malam itu.
Kisah cerita malam itu
menjadi pengalaman bagi saya dan wawasan nyata betapa jiwa-jiwa
diperjualbelikan. Harga diri bisa ditawar. Keesokan harinya saat senang pergi
ke salah satu sekolah di Talkeenta Alaska untuk mengisi kegiatan workshop, kita
mampir di tempat pizza untuk makan siang. Sedikit saya sambung cerita semalam
yang membuat kita tertawa itu, mungkin lucu untuk teman-teman Amerika atau
Australia karena mereka memandang hal yang biasa saja. Berbeda dengan saya, ini
luar biasa untuk orang kampung seperti saya. Ini bagus untuk cerita dan wawasan
banyak orang.
Sambil mendekat duduk
berhadapan di meja makan pizza, saya bertanya kepada Gabriel apakah hal
tersebut normal terjadi kepadanya. Gabriel menjawab bahwa tidak normal,
kebanyakan dancer hanya dibayar $200/$300 per hari bukan dua jam.
”Bagaimana jika kamu
mendapat tawaran seperti itu $500 USD (8 juta rupiah) dalam dua jam, apakah
kamu tertarik?” Gabriel bertanya balik.
Hm... sambil berpikir
loading beberapa saat, saya senyum sejenak.
”Saya tahu jika hidup di
New York biaya hidup sangat mahal. Jadi, jika ada tawaran seperti itu bisa saja
tertarik. Alasan biaya hidup jadi seperti tak ada pilihan,” ujar saya.
”Tidak seperti itu,
pekerjaan reguler banyak, seperti serabutan yang mendapatkan $200/ hari. Semua
ada pilihan padamu, prinsip hidupmu,” jawab Gabriel.
Jawaban itu mengentak
batin saya. Bukan masalah tempat, semua kembali pada pondasi diri
masing-masing.
Seperti yang kita ketahui
kisah besar yang sedang viral P. Diddy mengguncang mancanegara terkait pesta
besar paling seru di Hollywood. Tak semua artis dunia bisa mendapatkan tiket
atau undangannya. Seperti pesta yang dimimpikan dan didambakan para artis
dunia. Dilansir diberbagai media nasional maupun internasional juga rumor di berbagai
podcast yang menyebutkan deretan nama-nama artis besar yang tak akan saya
sebutkan satu per satu, saya kira kita semua dapat menyimpulkan dari berbagai
persepsi netizen yang membanjiri komentar di media sosial, seperti “keras
kehidupan Hollywood” atau “gila cari duit harus jual diri” atau ”entertaint di
US semenyeramkan itu”, dsb. Artinya memang begitu adanya.
Mungkin ada yang pernah
dengar juga terkait artis pemusik Indonesia yang berhasil tembus di dunia
internasional. Pernah diceritakan kisahnya di salah satu podcast,
seseorang itu mengatakan pernah diminta
untuk ikut ke dalam party strip (tari dewasa) dengan hanya 30 menit
pertunjukan. Ia dijanjikan $75,000 atau setara 1,2 M hanya dengan menari dewasa
mendapatkan senilai satu rumah di Indonesia. Namun bersyukurnya ia tumbuh dan
besar di negara kita yang penuh dengan ragam budaya dan agama. Itu membangun
karakter dirinya. Ia mampu menolaknya. Ia katakan dalam interviunya “For me
it’s like hey, that’s your life, tapi it’s not me. It’s not who I am”. Ia
menegaskan untuknya seperti itu kehidupanmu, tapi tidak untukku, ini adalah
diriku. Hidupnya lebih penting dari kariernya di dunia musik. Aksi penolakan
itu pun mengherankan bagi orang-orang dengan pola pikir tidak berketuhanan atau
tidak memiliki landasan karakter budaya. Saya ingin menggambarkan bagaimana
beruntungnya kita memiliki agama atau ajaran yang mengatur dan menjaga harga
diri agar tak mudah tergoda atau dengan mudah mengobral harga diri kita.
Menjual jiwa hanya untuk sebuah nilai.
Saya teringat dengan
kutipan para kiai dulu saat saya masih di pondok pesantren. Kiai mengatakan
bahwa Dajjal akan berikan apa pun yang kita inginkan, apa pun yang kita sukai.
Tapi ya mungkin dengan menjual jiwa kita padanya. Menjadikan uang sebagai Tuhan.
Berpegang pada materi kemewahan dan nilai di mata sosial atau makhluk lain.
Peran Tuhan hilang. Peran harga diri hilang. Tak terbayangkan jika agama tidak
berperan karena uang, mungkin semua orang melakukan apa saja tanpa batasan.
Memperlakukan manusia bukan seperti manusia lagi, bahkan dihinakan untuk
memakai kostum ini memakan baju ini, bergoyang ini bergoyang itu.
Saya tak terbayang jika
saya hidup bukan di Indonesia, entah jalan mana yang akan dipilih. Bersyukur
betul saya dilahirkan lalu menjadi warga Indonesia yang kental akan ajaran
agama dan budaya menjaga martabat harga diri.
Irisan-irisan ini bukan
hanya terjadi di negara adidaya Amerika dengan gemerlap ibu kotanya New York.
Justru trade center dunia menjadi tolok ukur semua negara-negara di dunia yang
ingin seperti gaya hidup Amerika dengan kebebasannya, dengan hedonisme dengan
brand dan gemerlap. Negara-negara kecil sudah banyak terdampak karena kiblat ke
Barat. Jangankan kota besar, Jakarta-Bali, mungkin kota sekecil seperti Serang
pun banyak yang menjual jiwanya untuk kebutuhan kehidupan atau kebutuhan hawa
nafsunya. Lagi-lagi perkataan Pak Kiai saat mengaji, akan banyak perempuan
menjadi pengikut Dajjal di akhir zaman. Dewasa ini di era media sosial dan
teknologi, bagi perempuan sangat mudah mendapatkan apa yang ia inginkan, mohon
maaf tidak bermaksud menyudutkan, contoh dengan membuka aurat atau berfoto
seksi, membuat akun berbayar atau hanya dipublis di media sosial, itu sudah
sedikit menjual jiwanya untuk ditukar nilai uang atau ketenaran. Saya tak
mengatakan menjual diri, tapi tetap saja di mata mereka jika nilai materi yang
diinginkan dan menjadi tujuan itu sudah menjual jiwa.
Agama menawarkan nilai
lebih tinggi dari materi, yaitu harga diri, kepemahaman ilmu yang sesungguhnya
membuat seseorang derajatnya tinggi atau istimewa, hidupnya akan bahagia dan
tak terberatkan oleh nafsu-nafsu atau keinginan-keinginan rendahan materi.
Justru agama yang mengenalkan manusia pada capaian sempurna menjadi manusia,
melebihi makhluk ciptaan yang lainnya. Materi di era ini seperti menggelapkan
manusia dari penglihatan mata hati. Mata hati telah dibutakan dengan perang
kerakusan atau perlombaan menumpuk harta. Seperti yang kita lihat sekarang
hampir semua sedang memanen kerakusan dan kehausan pengakuan sosial.
Tak terbayangkan jika
gelombang kegelapan merasuki semua manusia di dunia maka kegilaan yang terjadi
manusia semua akan di level asfala safilin yang artinya hina atau lebih rendah
dari hewan. Itu Al-Qur’an yang mengatakannya. Jadi jika Tuhan tidak ada dalam
hati maka Tuhan materi yang akan selalu dicari.
Betapa bersyukurnya saya
tumbuh besar di negara yang berketuhanan, yang kaya raya budaya menjaga adat
martabat harga diri. Saya harap kekayaan dan kekuatan yang negara kita miliki,
tak akan hancur diterjang gelombang tsunami besar budaya Barat. Justru kita
sebagai penyelamat di saat terjadi bencana di dunia.
_______
Heru Anwari, BMX
Freestyler Indonesia. Berkeliling dunia bersama sepeda.